Dewi Ekasari Kusumastuti

Buat Lencana Anda Dewi- Pinky Blog: PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVIS

PLB 2009

PLB 2009
KKL Jakarta-Bandung

Senin, 09 Januari 2012

PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVIS



A.    PENGERTIAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVIS
Teori pembelajaran konstruktivis pada dasarnya menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih dinarnai student centered daripada teacher centered. Sebagian besar waktu proses belaJar mengajar beriangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa.
Vygotsky mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu (Slavin, 2000).
Menurut Tran Vui, konstruktuvisme adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pangalaman sendiri. Sedangkan teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap menusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitas orang lain.
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan terhadap menusia untuk menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
1.      Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggungjawab siswa itu sendiri.
2.      Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya
3.      Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap
4.      Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri
5.      Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.


B.     FILOSOFI KONSTRUKTIVISME
Konstruksi berarti bersifat membangun dalam konteks filsafat pendidikan. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksikan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivis adalah bahwa semua pengetahuan dikonstruksikan atau dibangun dan bukan dipersepsikan secara langsung oleh indera penciuman, penglihatan, perabaan, dan lain-lain. Seperti dikatakan oleh Von Glaserfeld (1984), salah satu pendiri gerakan konstruktivis, konstrutivisme berakar pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli pada bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subyek yang berfikir tidak memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri. Semua pikiran didasarkan pada pengalaman kita sendiri dan oleh karenanya bersifat subjektif.
Di dalam pendidikan, ide-ide konstruktivis diterjemahkan bahwa semua pelajar benar-benar mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri, dan bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap“ oleh murid. Ini berarti bahwa setiap murid akan mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan, dan bahwa sebagai guru kita tidak dapat memastikan bahwa murid-murid kita akan belajar. Bagi kebanyakan guru, ini akan tampak seperti ide yang bersifat commonsensical (pengetahuan umum). Sesuatu yang sudah dilihat oleh semua guru didalam pelajaran mereka. Tetapi, banyak pendekatan belajar lain yang jauh lebih dekat dengan model stimulus (input guru) - respon (output murid).
Secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
1.      Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
2.      Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
3.      Murid aktif mengkonstruksi secara terus menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
4.      Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses konstruksi berjalan lancar
5.      Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
6.      Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
7.      Mencari dan menilai pendapat siswa
8.      Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting yaitu guru tidak boleh hanya semata-mata menberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebiih tinggi, tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.

C.     LANGKAH-LANGKAH IMPLEMENTASI
1.      Fase Start
Guru mungkin ingin mulai dengan mengukur pengetahuan murid sebelumnya dan menetapkan berbagai kegiatan. Guru dapat mulai dengan pertanyaan umum terbuka lalu mendorong murid untuk memberikan jawaban-jawaban terbuka, dan mendiskusikan tentang subyek ini. Sebagai altrnatif adalah mulai dengan sebuah masalah yang relevan dengan kehidupan murid sehari-hari.Setelah itu topik pelajaran yang dimaksud dapat diintroduksikan. Guru mungkin juga memutuskan untuk mengintroduksikan sebuah situasi yang membingungkan atau mengejutkan, yang menyebabkan murid memikirkan tentang situasi tersebut. Alih-alih langsung mengintroduksikan sebuah definisi atau konsep pada murid-murid, guru akan berusaha membuat mereka menemukan berbagai aturan dan definisi dan akan menetapkan sebuah kegiatan yang memungkinkan mereka untuk melakukan hal itu.
2.      Fase Eksplorasi
Murid sakarang mengerjakan kegiatan yang ditetapkan guru di fase 1. Kegiatan ini biasanya bersifat eksploratik, melibatkan situsi atau bahan-bahan riil,dan memberikan kesempatan untuk kerja kelompok. Kegiatannya mestinya distrukturisasikan sedemikian rupa sehingga para murid menghadapi isi-isu yang memungkinkan mereka mengembangkan pemahaman, dan mestinya juga cukup menantang(meskipun tidak melamppaui kemampuan mereka). Ada baiknya juga untuk mengingatkan murid tentang proses-proses metakognitif yang mungkin ingin mereka terapkan ketika menyelesaikan masalah.
3.       Fase Refleksi
Selama fase ini, murid mungkin diminta untuk menengok kembali kegiatan itu dan menganalisisa serta mendiskusikan apa yang telah mereka kerjakan, baik dengan kelompok-kelompok lain atau dengan guru. Guru dapat memberikan scaffolding yang bermanfaat selama fase ini, melalui pertanyaan dan komentar yang dirancang untuk mengaitan eksplorasi itu dengan konsep kunci yang sedang dieksplorasi.
4.      Fase Aplikasi dan Diskusi
Setelah itu guru dapat meminta seluruh kelas untuk mendiskusikan berbagai temuan dan menarik kesimpulan. Langkah berikutnya dapat diidentifikasi oleh guru dan murid,dan poin-poin kunci direkap.
                        Tahapan‑tahapan penerapan model konstruktivis dapat mengikuti langkah‑langkah sebagai berikut:
1.      Identifikasi awal terhadap prior knowledge dan miskonsepsi siswa tentang konsep tekanan
Pada tahap ini guru mengidentifikasi pengetahuan awal siswa tentang konsep tekanan, guna untuk mengetahui kemungkinan‑kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes diagnostik (pra tes) dan interview klinis yang dilaksanakan sebelum pernbelajaran.
2.      Penyusunan Program Pembelaiaran dan Strategi Pengubahan Miskonsepsi
Program pernbelajaran dijabarkan dalam bentuk Satuan Pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan miskonsepsi diwujudkan dalam bentuk modul tentang konsep‑konsep esensial yang mengacu pada konsepsi awal siswa yang telah dijaring sebelum pernbelajaran dilaksanakan.
3.      Orientasi dan Elicitasi
Situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal pembelajaran guna membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan dibahas Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala‑gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari‑hari. Pengungkapan gagasan tersebut dapat rnelalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Suasana pembeiajaran dibuat santai, agar siswa tidak khawatir dicemoohkan dan ditertawakan bila gagasan‑gagasannya salah.
4.      Refleksi
Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan‑gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direfleksikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesalahan untuk memudahkan merestrukturisasinya;
5.      Restrukturisasi Ide, berupa:
a.       Tantangan. Siswa diberikan pertanyaan‑pertanyaan tentang gejala‑gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu.
b.      Konflik Kognitif dan Diskusi Kelas. Siswa akan dapat melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan. melakukan percobaan di laboratorium. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi rnelalui diskusi dengan ternan atau guru yang pada kapasitasnya sebagai fasilitator dan mediator.
c.       Membangun Ulang Kerangka Konseptual Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep‑konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menuniukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.

6.      Aplikasi
Meyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepi ilmiah. Menganjurkan rnereka untuk menerapkan konsep iimiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudian menguji penyelesaiaanya secara ernpiris.
7.      Review
Review dilaksanakan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah beriangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangat resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selarnanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa yang bersangkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar